Fenomena Post-Truth: Mampukah Mahasiswa Menjadi Penangkal Kebenaran di Media Sosial
NTTPRIDE.COM - Diera digital, distribusi informasi yang masif melalui internet menghadirkan ruang baru dan menciptakan peluang dalam komunikasi, akan tetapi juga menimbulkan tantangan terkait kebenaran informasi sebagai konsumsi publik. Fenomena kebenaran semu (pseudo-truth) menjadi persoalan serius ketika informasi yang tidak akurat atau menyesatkan dianggap sebagai fakta.
Era digital sering kali disebut sebagai post-truth era, Dalam bukunya The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life, Keyes menggambarkan post-truthsebagai zaman di mana kebohongan tidak lagi dianggap sebagai hal yang sepenuhnya negatif, tetapi justru sering digunakan untuk membangun citra atau mencapai tujuan tertentu. Ia menekankan bahwa era ini menciptakan lingkungan di mana kebohongan dapat diterima selama dapat memengaruhi audiens secara emosional.
Oxford Dictionaries mendefinisikan post-truth sebagai situasi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini publik. Dalam konteks ini, kebenaran semu muncul ketika narasi yang emosional tetapi tidak benar mendapatkan perhatian lebih besar daripada data faktual.
Media sosial memainkan peran besar dalam fenomena ini. Algoritma platform seperti Facebook dan Twitter dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, sering kali dengan menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi atau keyakinan mereka. Ini menciptakan filter bubble (gelembung penyaring), di mana individu hanya terpapar informasi yang memperkuat pandangan mereka. Hal ini mengurangi kemampuan masyarakat untuk memeriksa validitas informasi secara kritis.
Efek ilusi kebenaran (illusory truth effect) menjelaskan bagaimana repetisi informasi dapat membuat sesuatu yang salah terasa benar. Penelitian oleh Hasher, Goldstein, dan Toppino (1977) menunjukkan bahwa orang cenderung mempercayai informasi yang sering mereka dengar atau lihat, terlepas dari kebenarannya.
Di era digital, fenomena ini diperkuat oleh algoritma yang memprioritaskan konten viral, termasuk hoaks dan disinformasi, sehingga memperbesar peluang penyebaran kebenaran semu.
Teori agenda-setting oleh McCombs dan Shaw (1972) menyoroti bagaimana media memengaruhi persepsi publik terhadap isu tertentu. Fungsi ini diperluas oleh media sosial, di mana setiap individu berpotensi menjadi "kurator informasi."
Namun, ketika informasi tidak diverifikasi, individu dapat menjadi penyebar kebenaran semu. Ini diperburuk pola distribusi informasi di mana konten yang mengandung sensasionalisme lebih cenderung menarik perhatian daripada fakta yang akurat.
Hal seperti ini memiliki dampak signifikan, terutama dalam politik dan masyarakat. Contoh yang sering dikutip adalah kampanye Brexit 2016 dan pemilihan presiden Amerika Serikat di tahun yang sama, di mana mis informasi menyebar luas melalui media sosial. Dalam masyarakat, kebenaran semu dapat memperburuk polarisasi dan menghambat dialog yang konstruktif.
Selain itu, dampak ekonomi juga terasa, seperti meningkatnya biaya untuk menangani hoaks di segala lini sektor kehidupan.Dalam konteks Indonesia fenomena post-truth seringkali terlihat dan digunakan untuk penyebaran hoaks, di informasi, hate speech, hingga narasi emosional yang mengesampingkan fakta objektif. Di satu sisi, Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia memberikan andil memperkeruh fenomena ini.
Dalam konteks politik, fenomena seperti ini terlihat jelas seperti pemilu 2014, pilkada DKI Jakarta 2017, pemilu 2019, bahkan yang terbaru pada pemilu 2024 yang menghadirkan ‘julukan’ terhadap setiap pemilih. Pemberian ‘julukan’ pada setiap pemilih tanpa disadari membentuk polarisasi sosial di setiap level masyarakat.
Polarisasi sosial dapat diartikan sebagai keadaan ketika masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, nilai, dan egosentris kelompok. Potensi konflik yang hadir menjadi keniscayaan, terkhusus bentuk konflik secara verbal di media sosial. Hal ini bisa berpengaruh pada proses pengambilan keputusan penting bagi negara karena indikasi adanya kebuntuan politik (political gridlock) menjadi nyata.
Dalam konteks Mahasiswa sebagai suara hati masyarakat memiliki potensi besar sebagai pelopor yang signifikan. Mahasiswa dengan nilai kepeloporan yang melekat pada dirinya memainkan peran strategis dan sentral dalam menghadapi tantangan yang disebabkan oleh kebenaran semu (pseudo-truth).
Untuk itu, organisasi mahasiswa yang memiliki tradisi panjang membangun kesadaran intelektual,kritis, rasional dan inovatif harus hadir dan bertanggung jawab menyebarkan nilai-nilai kebenaran berasaskan Islam yang moderat berbasis fakta.
Mahasiswa sebagai pejuang nilai dengan semangat regenerasi harus mampu membangun kualitas insan-insan akademis agar terwujudnya masyarakat adil makmur harus menjadi penggerak mengutamakan objektivitas, sehingga mampu meminimalisir dampak kebuntuan politik (political gridlock).
Namun, pertanyaan yang tidak bisa diabaikan adalah: akankah mahasiswa hanya duduk antipati sebagai penonton pasif, atau mereka bangkit menjadi roda penggerak perubahan untuk menangkal fenomena ini?
Dengan nilai-nilai luhur, moralitas yang kokoh, intelektual, nalar kritis serta potensi besar yang dimiliki, kini adalah saat yang tepat untuk menentukan arah. Apakah mereka mampu mengemban peran ini menjadi pionir perubahan, atau justru tenggelam dalam arus deras disinformasi dan kebenaran semu?
Penulis : Ikhlasul P. Amal
Editor : Ocep Purek